Minggu, 30 Desember 2012

Derita Muslim Ahwaz dari Penjajah Syi'ah Iran









Penyiksaan terhadap warga Ahwaz yang mayoritas adalah Ahlussunnah etnis Arab terus berlangsung. Akan tetapi karena media massa tidak berada di tangan mereka, maka dunia Islam pun tak tahu tentang mereka.

Mereka terus berjuang untuk merebut kembali wilayah mereka dari Penjajah Iran yang selama ini merampas kekayaan alam mereka, yaitu minyak. Di samping menindas mereka karena perbedaan etnis dan ideologi. Sebab Syi’ah Iran adalah etnis Persia yang sejak dulu terkenal sangat membenci bangsa Arab, apalagi yang Ahlussunnah.

Oleh karena itu, siapa pun yang mencoba melawan penjajah Iran, riwayatnya akan berakhir di tiang gantungan, atau ditembus timah panas. Dan hal ini sangat sering terjadi,

Ahwaz adalah sebuah wilayah yg jauh lebih luas dari Palestina, sekitar 375.000 Km persegi, dan dihuni oleh 8 juta jiwa. Ia terletak di perbatasan antara Irak dan Iran, dan meliputi semenanjung Teluk Arab, hingga bila dilihat secara geografis, bentuknya seperti bulan sabit.


Wilayah ini dikenal juga dengan nama Arabistan atau Khuzistan. Bahasa warganya adalah bahasa Arab, dan mereka telah mendiami wilayah tersebut sejak 500 tahun lalu.

Awalnya, warga Ahwaz 99% adalah orang keturunan Arab, sedangkan sisanya Persi. Namun kini jumlah mereka mulai berkurang hingga mencapai 95% saja.

Ahwaz adalah daerah penghasil minyak terbesar di Iran, dan nomor tiga di dunia. Akan tetapi, banyak dari warganya hidup dalam kemiskinan yang cukup mengenaskan. Kondisi mereka sangat mirip dengan saudara-saudara kita di Palestina yg dijajah oleh Yahudi sejak tahun 1967. Bahkan tidak berlebihan bila dikatakan bahwa warga Ahwaz mengalami penindasan yg lebih parah dari Palestina. Mengapa? Sebab mereka dijajah oleh Majusi Iran (Syi’ah) sejak tahun 1925, yakni 42 tahun lebih dulu dari penjajahan Zionis atas Palestina.

Read More......

Senin, 24 Desember 2012

TERNYATA TEPUK DADA SAAT DUKA CITA MELANGGAR SABDA IMAM


Perayaan tepuk dada yang dilakukan syiah ternyata membuat pahala pelakunya jadi gugur. Tapi mengapa mereka masih melakukannya?
Setiap tahunnya, syiah selalu mengadakan upacara tepuk dada, karena sedih akibat dibunuhnya Imam Husein. Anehnya, mereka hanya mengadakan upacara tepuk dada ini untuk Imam Husein, dan mereka tidak mengadakan tepuk dada untuk mengenang ayahnya, Imam Ali bin Abi Thalib, yang juga mati dibunuh. Mengapa? 

Apakah Imam Husein lebih baik daripada Ali bin Abi Thalib?

Ini terkait dengan misi syiah untuk tetap mengikat pengikut syiah secara emosional, hingga mereka tetap “kerasan” di dalam buaian tipu daya para ulama dan ustadz. Emosi kesedihan mereka dibangkitkan sedemikian rupa, hingga logika pun tumpul dan akhirnya hilang. Ketika logika tidak lagi bekerja, maka ulama dan ustadz syiah bebas untuk mensabdakan apa saja, dan penganut syiah awam akan ikut, karena logika mereka sudah tidak lagi bekerja.

Pada makalah sebelumnya, yaitu makalah ini dan ini –kasi link- kami telah menjelaskan siapa sebenarnya yang membantai imam Husein, yaitu para syiah yang menulis puluhan ribu surat untuk Imam Husein, memanggilnya ke Kufah untuk berjihad melawan apa yang mereka sebut sebagai “tirani”. Tapi yang terjadi di lapangan sungguh berbeda, karena syiah yang menulis surat pada Imam Husein, mereka malah memerangi Imam Husein hingga terbunuh. Ini sesuai dengan kesaksian Imam Ali Zainal Abidin, penerus Imam Husein.

Nah, jika yang membunuh Imam Husein adalah syiah sendiri, mengapa syiah malah berduka cita dan mengutuk para pembunuhnya? Jika memang syiah konsisten dengan pembelaan mereka terhadap imam Husein, dan konsisten terhadap kebencian pada para pembunuhnya, mestinya mereka meninggalkan mazhab syiah.

Selain memperingati duka cita, upacara tepuk dada ini juga diisi dengan pengobaran dendam dan kebencian pada ahlussunnah, yang dituduh sebagai pengikut Yazid bin Muawiyah, dan dituduh menyetujui pembunuhan terhadap Imam Husein. Dengan berkobarnya kebencian yang dipupuk dalam upacara peringatan syahidnya Imam Husein, maka jarak antara syiah dan ahlussunnah semakin bertambah jauh. Persatuan antara syiah dan ahlussunnah, yang selama ini dikampanyekan oleh Haidar Bagir dan kawan-kawannya, semakin jauh bak panggang jauh dari api.

Terkait dengan upacara tepuk dada ini, ada sebuah hadits dari Rasulullah dan Imam Ja’far As Shadiq, yang tentunya diriwayatkan oleh kitab-kitab syiah sendiri. Kami di sini tidak menggunakan dalil dari kitab ahlussunnah.:



Dari Muhammad bin Ali bn Husein, dengan sanadnya dari Shafwan bin Yahya dan Muhammad bin Abi Umair, dari Musa bin Bakr, dari Zurarah, dari Ja’far As Shadiq: Siapa yang memukulkan tangannya ke paha ketika ditimpa musibah, maka pahalanya akan gugur.

Dari Muhammad bin Ya’qub, dari Ali bin Ibrahim, dari ayahnya, dari An Naufali, dari As Sukuni, dari Abu Abdillah berkata: Rasulullah SAWW bersabda: orang muslim yang memukulkan tangannya ke paha saat musibah, maka itu menggugurkan pahalanya.

Wasa’il Syiah jilid 3 hal 270, Bab 81

Jelas sekali, menepuk paha ketika musibah, sesuatu yang ringan, bisa menggugurkan pahala orang yang terkena musibah. 

Jika menepuk paha bisa menggugurkan pahala, apalagi dengan menepuk dada? 

Mengapa ulama dan ustadz syiah menyembunyikan riwayat ini dari umatnya?
 
Mengapa mereka menjauhkan pengikut syiah dari sabda-sabda para imam syiah sendiri?
 
Jika penganut syiah sengaja dijauhkan dari mazhab asli keluarga Nabi, lalu siapa yang diikuti oleh para ustadz syiah?

Sumber:hakekat.com

Read More......

Syi’ah dan Kebencian Mereka Kepada Malaikat Jibril



Oleh: Asy-Syaikh Sholih Al-Fauzan Hafizhahullah Ta’ala

الحمدالله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه أجمعين

أما بعد :

Sungguh Syi’ah telah terpengaruh dengan keyakinan Yahudi dalam hal permusuhan mereka terhadap Malaikat Jibril ‘alaihis salam
Berikut ini adalah penjelasan dari Asy-Syaikh Al-‘Allamah Sholih Al-Fauzan (Anggota Dewan Fatwa Arab Saudi) dalam kitabnya Al-Manhah Ar-Robbaniyah fi Syarhil Arba’ina An-Nawawiyah, hal.53-54 Cet. Darul ‘Ashimah:
“Diantara mereka ada yang memusuhi para malaikat, diantara mereka ada juga yang memusuhi sebagian malaikat. Seperti Yahudi yang memusuhi Malaikat Jibril ‘alaihis salam, mereka mengatakan Jibril musuh kami, seandainya yang turun kepada Muhammad (untuk menyampaikan wahyu) bukan Jibril pasti kami akan beriman kepadanya, tetapi karena yang turun kepadanya adalah Jibril maka kami tidak mau beriman kepadanya, karena Jibril adalah musuh kami. Allah berfirman:

قال الله تعالى: (قُلْ مَن كَانَ عَدُوّاً لِّجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نَزَّلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللّهِ مُصَدِّقاً لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ * مَن كَانَ عَدُوّاً لِّلّهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ….) البقرة : 97-98

“Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman * Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, Maka Sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir” (QS. Al-Baqoroh: 97-98)

Diantara syi’ah juga ada yang memusuhi Jibril karena terpengaruh dengan Yahudi.

Mereka berkata: Sesungguhnya risalah (kenabian) untuk Ali tetapi Jibril berkhianat dan memberikannya kepada Muhammad.

Seorang penya’ir mereka berkata:

خان الأمين وصدها عن حيدرة

“Telah berkhianat Al-Amin (Jibril) dan menghalanginya dari Haidaroh (‘Ali)”

Read More......

Minggu, 23 Desember 2012

Mengenal Imam Ja’far ash-Shadiq


Siapakah Ja’far ash-Shadiq

Pertanyaan

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ustadz, siapakah imam Ja`far ash-Shadiq dan apakah beliau termasuk Ahlu Sunnah?
Syukron
Dari: Iwan

Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Ia adalah seorang ulama besar yang masih keturunan Ahli Bait, yang dicatut oleh ahli bid’ah (baca: Syiah) sebagai tokohnya. Padahal jauh panggang dari api. Aqidahnya sangat berbeda jauh dengan aqidah yang selama ini diyakini orang-orang Syiah.
Nasab dan Kepribadiannya
Ia adalah Ja’far bin Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin al-Husein bin Ali bin Abi Thalib, keponakan Rasulullah dan suami dari putri beliau Fathimah radhiallahu ‘anha. Lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat di kota yang sama pada tahun 148 H dalam usia 68 tahun.
Ash-Shadiq merupakan gelar yang selalu menetap tersemat padanya. Kata ash-Shadiq itu, tidaklah disebutkan kecuali mengarah kepadanya. Karena ia terkenal dengan kejujuran dalam hadis, ucapan-ucapan dan tindakan-tindakannya. Kedustaan tidak dikenal padanya. Gelar ini pun masyhur di kalangan kaum muslimin. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah acapkali menyematkan gelar ini padanya.
Laqab lainnya, ia mendapat gelar al-Imam dan al-Faqih. Gelar ini pun pantas ia sandang. Meski demikian, ia bukan manusia yang ma’shum seperti yang diyakini sebagian ahli bid’ah. Ini dibuktikan, ia sendiri telah menepisnya, bahwa al-‘Ishmah(ma’shum) hanyalah milik Nabi.
Imam Ja’far ash-Shadiq dikaruniai beberapa anak. Mereka adalah: Ismail (putra tertua, meninggal pada tahun 138 H, saat ayahnya masih hidup), Abdullah (dengan namanya, kun-yah ayahnya dikenal), Musa yang bergelar al-Kazhim, Ishaq, Muhammad, Ali, dan Fathimah.
Dia dikenal memiliki sifat kedermawanan dan kemurahan hati yang begitu besar. Seakan merupakan cerminan dari tradisi keluarganya, sebagai kebiasaan yang berasal dari keturunan orang-orang dermawan. Sebagaimana Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling murah hati.
Dalam hal kedermawanan ini, ia seakan meneruskan kebiasaan kakeknya, Zainal Abidin, yaitu bersedekah dengan sembunyi-sembunyi. Dengan sifat kedermawanannya pula, ia melarang terjadinya permusuhan. Dia rela menanggung kerugian yang harus dibayarkan kepada pihak yang dirugikan, untuk mewujudkan perdamaian antara kaum muslimin.

Perjalanan Keilmuannya

Imam Ja’far ash-Shadiq, menempuh perjalanan ilmiyahnya bersama dengan ulama-ulama besar. Ia sempat menjumpai sahabat-sahabat Nabi yang berumur panjang, misalnya Sahl bin Sa’id as-Sa’idi dan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhum. Dia juga berguru kepada pemuka tabi’in Atha` bin Abi Rabah, Muhammad bin Syihab az-Zuhri, Urwah bin az-Zubair, Muhammad bin al-Munkadir, dan Abdullah bin Abi Rafi’ serta Ikrimah maula Ibnu Abbas. Dia pun meriwayatkan dari kakeknya, al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr.
Mayoritas ulama yang ia ambil ilmunya berasal dari Madinah. Mereka adalah ulama-ulama kesohor, terpercaya, memiliki ketinggian dalam amanah dan kejujuran.
Sedangkan murid-muridnya yang paling terkenal, yaitu Yahya bin Sa’id al-Anshari, Aban bin Taghlib, Ayyub as-Sakhtiyani, Ibnu Juraij, dan Abu Amr bin al-Ala`. Juga Imam Darul Hijrah, Malik bin Anas al-Ashbahi, Sufyan ats-Tsauri, Syu’bah bin al-Hajjaj, Sufyan bin Uyainah, Muhammad bin Tsabit al-Bunani, Abu Hanifah, dan masih banyak lagi.
Para imam hadis -kecuali al-Bukhari- meriwayatkan hadis-hadisnya pada kitab-kitab mereka. Sementara Imam al-Bukhari meriwayatkan hadisnya di kitab lainnya, bukan di Shahih.
Berkat keilmuan dan kefaqihannya, sanjungan para ulama pun mengarah kepada Imam Ja’far ash-Shadiq.
Abu Hanifah berkata,”Tidak ada orang yang lebih faqih dari Ja’far bin Muhammad.”
Abu Hatim ar-Razi di dalam al-Jarh wa at-Ta’dil 2:487 berkata,”(Dia) tsiqah, tidak perlu dipertanyakan orang sekaliber dia.”
Ibnu Hibban berkomentar: “Dia termasuk tokoh dari kalangan Ahli Bait, ahli ibadahdari kalangan atba’ tabi’in dan ulama Madinah”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memujinya dengan ungkapan: “Sesungguhnya Ja’far bin Muhammad termasuk imam, berdasarkan kesepakatan Ahli Sunnah”. (Minhaju as-Sunnah, 2:245).
Demikian sebagian kutipan pujian dari para ulama kepada Imam Ja’far ash-Shadiq.

Ja’far ash-Shadiq Tidak Mungkin Mencela Abu Bakar dan Umar

Adapun Syiah, berbuat secara berlebihan kepada Imam Ja’far ash-Shadiq. Golongan Syiah ini mendaulatnya sebagai imam keenam. Pengakuan mereka, sebenarnya hanya kamuflase. Pernyataan-pernyataan dan aqidah beliau berbeda 180 derajat dengan apa yang diyakini oleh kaum Syiah.
Sebut saja, sikap Imam Ja’far ash-Shadiq terhadap Abu Bakr dan Umar bin al-Kaththab. Kecintaannya terhadap mereka berdua tidak perlu dipertanyakan.Bagaimana tidak, mereka berdua adalah teman dekat kakeknya (yaitu Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam), dan sebagai penggantinya.
Abdul Jabbar bin al-Abbas al-Hamdani berkata, “Sesungguhnya Ja’far bin Muhammad menghampiri saat mereka akan meninggalkan Madinah. Ia berkata, ‘Sesungguhnya kalian, Insya Allah termasuk orang-orang shalih dari Madinah. Maka, tolong sampaikan (kepada orang-orang) dariku, barangsiapa yang menganggap diriku imam ma’shum yang wajib ditaati, maka aku berlepas diri darinya. Barangsiapa menduga aku berlepas diri dari Abu Bakr dan Umar, maka aku pun berlepas diri darinya’.”
Ad-Daruquthni meriwayatkan dari Hanan bin Sudair, ia berkata: “Aku mendengar Ja’far bin Muhammad, saat ditanya tentang Abu Bakr dan Umar, ia berkata, ‘Engkau bertanya tentang orang yang telah menikmati buah dari surga’.”
Pernyataan beliau ini jelas sangat bertolak belakang dengan keyakinan orang-orang Syiah yang menjadikan celaan dan makian kepada Abu Bakr, Umar, dan para sahabat pada umumnya sebagai sarana untuk mendapatkan pahala dari Allah.
Imam Ja’far ash-Shadiq, sangat tidak mungkin mencela mereka berdua. Pasalnya, ibunya, Ummu Farwa adalah putri al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr ash Shiddiq. Sementara neneknya dari arah ibunya adalah, Asma bintu Abdir Rahman bin Abi Bakr. Apabila mereka adalah paman-pamannya, dan Abu Bakr termasuk kakeknya dari dua sisi, maka sulit digambarkan, jika Ja’far bin Muhammad -yang jelas berilmu, berpegang teguh dengan agamanya, dan ketinggian martabatnya, serta memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi- melontarkan cacian dan celaan terhadap kakeknya, Abu Bakr ash-Shiddiq. Ja’far sendiri berkata : “Abu Bakar melahirkan diriku dua kali”.
Apalagi, bila menengok kapasitas keilmuan dan keteguhan agama dan ketinggian martabatnya, sudah tentu akan menghalanginya untuk mencaci-maki orang yang tidak pantas menerimanya.

Klaim Bohong Syiah atas Ja’far ahs-Shadiq

Pada masanya, bid’ah Ja’d bin Dirham dan pengaruh Jahm bin Shafwan tengah menyebar. Sebagian kaum muslimin sudah terpengaruh dengan aqidah Alquran sebagai makhluk. Akan tetapi, Ja’far bin Muhammad menyatakan: “Bukan Khaliq (Pencipta), juga bukan makhluk, tetapi Kalamullah”. Aqidah dan pemahaman seperti ini bertentangan dengan golongan Syiah yang mengamini Mu’tazilah, dengan pemahaman aqidahnya, Alquran adalah makhluk.
Artinya, prinsip aqidah yang dipegangi oleh Imam Ja’far ash-Shadiq merupakan prinsip-prinsip yang diyakini para imam Ahli Sunnah wal Jama’ah, dalam penetapan sifat-sifat Allah. Yaitu menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi Allah sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, serta menafikan sifat-sifat yang dinafikan Allah dan Rasul-Nya.
Ibnu Taimiyyah berkata, “Syiah Imamiyah, mereka berselisih dengan Ahli Bait dalam kebanyakan pemahaman aqidah mereka. Dari kalangan imam Ahli Bait, seperti Ali bin al Husein Zainal Abidin, Abu Ja’far al-Baqir, dan putranya, Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq, tidak ada yang mengingkari ru`yah (melihat Allah di akhirat), dan tidak ada yang mengatakan Alquran adalah makhluk, atau mengingkari takdir, atau menyatakan Ali merupakan khalifah resmi (sepeninggal Nabi n), tidak ada yang mengakui para imam dua belas ma’shum, atau mencela Abu Bakr dan Umar.”
Tokoh-tokoh Syiah tempo dulu mengakui, bahwa aqidah tauhid dan takdir (yang mereka yakini) tidak mereka dapatkan, baik melalui Kitabullah, sunah atau para imam Ahli Bait. Sebenarnya, mereka mendapatkannya dari Mu’tazilah. Mereka (kaum Mu’tazilah) itulah guru-guru mereka dalam tauhid dan al-adl”.
Klaim kaum Syiah yang menyatakan pemahaman aqidah mereka berasal dari Ja’far ash-Shadiq atau imam Ahli Bait lainnya, hanyalah merupakan kedustaan, dan mengada-ada belaka. Sehingga tidak salah jika dianggapnya sebagai dongeng-dongeng fiktif, dan bualan kosong yang mereka nisbatkan kepada orang-orang yang mulia itu.
Contoh kedustaan yang dilekatkan kepada beliau, yaitu ucapan “Taqiyah adalah agamaku dan agama nenek-moyangku”. Orang Syiah menjadikannya sebagai prinsip aqidah mereka.
Kedustaan lainnya, keyakinan mereka bahwa Ja’far ash-Shadiq akan kekal abadi, dan tidak meninggal. Ini juga merupakan kesalahan yang parah. Kematian adalah milik setiap orang, dan pasti terjadi. Tidak ada orang, baik dari kalangan Ahli Bait atau lainnya yang mendapatkan hak istimewa hidup abadi di dunia ini.
Bentuk kedustaan mereka merambah buku dan tulisan-tulisan yang diklaim telah ditulis oleh Ja’far ash-Shadiq. Para ulama telah menetapkan kedustaan itu. Ditambah lagi, eranya (80-148 H) termasuk masa yang kering dengan karya tulis. Yang ada, perkataan-perkataan yang diriwayatkan dari mereka saja, tidak sampai dibukukan.
Kaidah yang mesti kita pegangi dalam masalah ini, tidak menerima satu perkataan pun dari ash-Shadiq dan imam-imam lain, juga dari orang lain, kecuali dengan sanad yang bersambung, berisikan orang-orang yang terpercaya dan dikenal dari kalangan para perawi, atau bersesuaian dengan kebenaran dan didukung oleh dalil, maka baru bisa diterima. Selain dari yang itu, tidak perlu dilihat.
Di antara buku yang dinisbatkan kepadanya dengan kedustaan, yaitu kitab Rasailu Ikhawni ash-Shafa, al-Jafr (kitab yang memberitakan berbagai peristiwa yang akan terjadi), ‘Ilmu al Bithaqah, Ikhtilaju al A’dha` (menjelaskan pergerakan-pergerakan yang ada di bawah tanah), Qira`atu Alquran Fi al Manam, dan sebagainya.
Golongan Syiah memperkuat kedustaan mereka tentang keotentikan kitab-kitab tersebut, dengan mengambil keterangan dari Abu Musa Jabir bin Hayyan ash-Shufi ath-Tharthusi. Dia ini adalah pakar kimia yang terkenal, meninggal tahun 200 H. Mereka berdalih, bahwa Abu Musa Jabir bin Hayyan telah menyertai Ja’far ash-Shadiq dan menulis berbagai risalah yang berjumlah 500 buah dalam seribu lembar kertas.
Namun, pernyataan ini masih sangat diragukan. Sebab, Jabir ini termasuk muttaham (tertuduh, dipertanyakan) dalam agama dan amanahnya, dan juga kesertaannya bersama Ja’far ash-Shadiq yang meninggal tahun 148 H. Menurut keterangan yang masyhur, Jabir bukan menyertai Ja’far ash-Shadiq, tetapi ia menyertai Ja’far bin Yahya al-Barmaki.
Alasan lainnya yang semakin menjadikan kita ragu akan pernyataan tersebut, Imam Ja’far ash-Shadiq berada di Madinah, sementara itu Jabir bermukim di Baghdad. Kedustaan tersebut semakin jelas jika melihat kesibukan Jabir dengan ilmu-ilmu alamnya, yang tentu sangat berbeda dengan yang ditekuni Imam Ja’far ash-Shadiq.
Oleh karena itu, tulisan-tulisan di atas, tidak bisa dibenarkan penisbatannya kepada Ja’far ash-Shadiq. Ringkasnya, Syiah berdiri di atas kedustaan dan kebohongan. Andaikan benar miliknya, sudah tentu akan diketahui anak-anaknya dan para muridnya, dan kemudian akan menyebar ke berbagai pelosok dunia. Wallahul musta’an.
Fakta ini semakin membuktikan bahwa Syiah berdiri di atas gulungan kedustaan dan kebohongan. Ibnu Taimiyah rahimahullah menyimpulkan:
“Adapun syariat mereka, tumpuannya berasal dari riwayat dari sebagian Ahli Bait seperti Abu Ja’far al-Baqir, Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq dan lainnya”.
Tidak diragukan lagi, bahwa mereka adalah orang-orang pilihan milik kaum muslimin dan imam mereka. Ucapan-ucapan mereka mempunyai kemuliaan dan nilai yang pantas didapatkan orang-orang semacam mereka. Tetapi, banyak nukilan dusta ditempelkan pada mereka.
Kaum Syiah tidak memiliki kemampuan penguasaan dalam aspek isnad dan penyeleksian antara perawi yang tsiqah dan yang tidak. Dalam masalah ini, mereka laksana Ahli Kitab. Semua yang mereka jumpai dalam kitab-kitab, berupa riwayat dari pendahu-pendahulu mereka, langsung diterima. Berbeda dengan Ahli Sunnah, mereka mempunyai kemampuan penguasaan isnad, sebagai piranti untuk membedakan antara kejujuran dengan kedustaan. (Minhaju as-Sunnah, 5:162).
[Diadaptasi dari muqaddimah tahqiq Kitab al Munazharah (Munazharah Ja'far bin Muhammad ash-Shadiq Ma'a ar Rafidhi fi at Tafdhili Baina Abi Bakr wa 'Ali), karya Imam al Hujjah Ja'far bin Muhammad ash-Shadiq, tahqiq 'Ali bin 'Abdul 'Aziz al 'Ali Alu Syibl, Dar al Wathan Riyadh, Cet. I, Th. 1417 H].
(Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016)

Read More......